Aku dan Buku
Di sebuah bangku kayu dengan warna
putih bersih tanpa apapun. Angin semilir menghempas rambut putihku. Di kelilingi
pepohonan yang rindang, dan hijau. Rumput-rumput yang ditumpuki dengan daun
kering. Daun kering yang berserakan. Entah kapan dia ingin gugur. Waktu kenapa kau
membatasi? Apa kau tak mengerti arti sebuah keterbatasan? Buku kau masih ingat
dimana kita jalan pada sabtu malam? Sebuah buku coklat selalu menemaniku. Buku
ini terlihat tua, penuh dengan tekukan-tekukan masalalu dan guratan-guratan
kenangan. Aku dan kamu, hilang, buncah, entah harus bilang apa.
Tak ada suara indah yang kudengar? Bukan
karena ku tuli. Pendengaranku masih sanggup mendengar suara manusia-manusia tak
tahu diri. Suara indah beda dengan suara bagus, suara buruk beda dengan suara
tak tahu diri. Manusia-manusia yang hanya menilai orang dari tampilannya saja.
Saya rasa mereka tak mengerti arti ketidak mampuan dan keterbatasan. Iya saya
paham, usia saya tak muda hanya 45 tahun. Bukankah itu masih terbilang muda? Suara-suara
aneh juga sering terdengar. Gila kata mereka? Apa kau tak tahu seseorang yang
memperoleh hadiah nobel dibidang kimia. Jika aku gila mungkin kalian lebih gila
dari pada diriku ini. Kalian terlalu bodoh untuk menilai seseorang gila, tapi
aku tak pernah menyangkal kegilaan yang sering kalian ucapkan. Ya... aku gila. Anda
tidak pernah benar untuk kegilaan jiwaku, tapi untuk kegilaan hatiku, aku yakin
kalian benar 99,9%.
Waktu sejenak berhenti. Berotasi
sejenak. Menembus matahari, bulan, merkurius, dan kembali ke bumi. dan tetap berputar.
Hitam, sejenak diam, sejenak melengkung, dan sejenak menembus cahaya, kembali kesebuah
masa, masa dimana cinta mengambang dengan indahnya dan mengalir tiada hentinya.
Cinta ya cinta... cukup satu kata cinta. Kata abstak yang tak pernah kutemui
kejelasan maknanya
Rin wanita dengan guratan wajah yang
unik, bentuk wajahnya bundar, bibirnya tipis, dan rambutnya panjang, hitam, tingginya
kira-kira sebahuku, tangannya kasar, padahal dia baru berusia 18 tahun saat itu,
dan hanya itu yang bisa ku sentuh. Rin tak beda jauh dari wanita sebayanya ucapannya,
suaranya tegas, dia perempuan yang berani, entah dari mana keberaniaan itu datangnya.
Bagiku rin adalah dewiku, malaikat, atau apalah julukannya.
Rin adalah teman kecilku, dia selalu
mengantarkanku jalan-jalan setiap hari. Kau tahu jika waktu tak bisa dibayar
dengan apapun? Dia memberikan hal yang tak bisa dibayar, lalu dengan apa aku
membalasnya? Sabtu malam dia mengantarkanku ke taman bermain dia menjelaskan
dengan baik, mirip seperti tourguide.
Dia selalu seperti itu setiap mengajakku dan selalu dia genggam tanganku dengan
erat. Taman bermain yang indah. Dia jelaskan lampu berwarna-warni dimana-mana,
stan makanan di kanan dan kiri kami, gula-gula, gorengan, popcorn, dan katanya
stannya dihiasi balon dan kain yang berwarna-warni pula. “Seperti apa gula-gula
itu, rin?” Ucapku dengan penuh penasaran. Dia sebut warna merahmuda. Ku jawab
tak tahu, yang kutahu hanya gelap, hitam. Dia bilang lembut, yang kutahu hanya
wajahnya yang lembut. Ucapnya lagi rasanya manis, aku merasa ingin
menggenggamnya. Otakku mulai berfikir, mulai berimajinasi. Apakah gula-gula
lebih lembut dan lebih manis dari Rin. Singkat cerita rin, meletakkan benda
yang aneh ditanganku, keras, kasar, dan warnanya. Tetap sama gelap. Dia bantu
tanganku agar gula-gula ini melesat ke tenggorokanku. Manis dan lembut. “Apa semua
yang manis dan lembut berwarna merah muda, atau yang memberi rasa adalah warna
merah muda.” Ucapku dengan polosnya. Rin tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang
lucu. Mungkin keluguanku atau ketidak tahuanku. Maklum selain warna hitam,
guratan, suara, rasa, dan aroma. Tak ada lagi yang aku ketahui. Cuma rin yang
tahu dan cuma tawa rin yang menemani ketidak tahuanku. Dia bilang gula-gula itu
mirip dengan rin. Jika ingin tahu rin makan saja gula-gula, kau akan ingat dengannya. Kau akan
mengerti kelembutannya, rasa manisnya, dan aromanya yang khas. Rin membawaku
berputar-putar. Aku dan rin yang merupakan tongakat hidupku selalu menuntunku
ke daerah-daerah istimewa, daerah-daerah yang penuh imajinasi, imajinasi
tingkat dewa yang penuh dengan warna gelap. Entah itu namanya segitiga, kotak,
bulat, atau apalah yang kalian tahu dari dunia ini. Setiap sabtu malam rin
selalu mengajakku ketaman ini dengan gula-gula yang selalu aku genggam dan
pulang dengan membawa saput tangan rin. Kakek selalu memarahiku saat ku tiba di
rumah. Aku masih ingat dia bilang aku merepotkan rin, aku sama seperti tanaman
gulma. Begitulah istilah kakekku bilang, padahal aku tak tahu gulma itu seperti
apa. Syukurlah mungkin tanaman yang manis dan lembut.
Waktu berlalu dengan cepat
pemahamanku ku bertambah, berkat rin yang selalu disisiku. Dia ceritakan semua
yang dia alami di sekolahnya, seakan dia menjadi mataku, seakan akau bisa
merasakan apa yang dialami oleh rin, tapi sayang semua ada batasnya, begitulah
dunia. Terbatas pada diriku, tapi tak apalah asal bisa mendengar suarannya itu
sudah cukup bagiku. Tapi suatu ketika kudengar suara yang buruk sekali, kata
rin itu manusia berwujud setan. Manusia itu memaki aku habis-habisnya, umpatan
dengan segala jenis kebun binatang keluar, sebuah benda keras menabrak pipiku,
perih, dan terasa sakit. Kudengar untuk pertama kalinya rin marah. Dia balas
manusia itu tidak dengan umpatan tapi dengan kata-kata maaf yang merusak
dadaku. Kata-kata penuh belas kasihan yang sepanjang abad belum pernah
kudengar. Manusia itu masih meronta, entah setan apa yang merasukinya. Rin membawaku
lari. Dia genggam tanganku. Dia bawa aku ke tempat yang jauh. Entah dimana
pandanganku tetap sama gelap. Ku duduk disebuah tempat duduk yang, wah sangat
empuk tak tahu kursi seperti apa ini. Kurasakan suhu udara disini juga dingin,
entah dari mana ada angin yang bertiup. Dia seka bekas lupa dipipiku dengan
sebuah kain basah. Selang beberapa menit kemudian terdengar suara manusia lain,
yang ini tidak sekasar yang tadi, tapi sayang ucapannya tak lebih buruknya dari
yang tadi. Hina ucapan penuh sampah melayang. Tersiksa derita dalam kegelapan
tak mampu aku ungkapkan. Ku berlali meninggalkan suara itu, meninggalkan
tongkat hidupku. Lelah dihina, lelah disiksa, ucapan tak pantas, mungkin bukan
dari orang terpelajar.
Keesokannya aku tahu bahwa manusia kedua
yang menyayat hatiku tak lain adalah ibu dari rin. Tak tahan membendung air
mata ini, tapi lelaki pantang untuk menangis. Kucubit pahaku dengan
sekeras-kerasnya hingga sakit tak terkira. Inilah caraku untuk melupakan
sejenak lukaku yang lainnya. Tak lama kemudian rin izin pamit pulang, mungkin
dia tahu aku akan menangis sejadi-jadinya sebentar lagi. Rin titipkan sebuah
buku pada kakekku. Sebuah buku kimia, bukan buku bertuliskan huruf braille. Kutahu
setelah kakek bicara dengan logat jawanya bahwa tak mungkin kay. Iya kay itu
namaku. Tak bisa membaca yang begituan, bahkan berjalan saja harus dengan
tongkat. Rin memaksa kakekku untuk menyimpan buku tersebut, entah karna apa. Bahkan
takdirpun tak mungkin menolongku. Operasi mata butuh biaya yang besar, banyak
segunung-gunung uang.
Setelah kepergian rin ku tak jumpa
dia lagi, yang tertinggal hanya buku kimia hasil peninggalannya. Kakekku pergi
untuk selamanya meninggalkan sepasang mata untukku. Membuat ku dapat melihat
indahnya dunia, rumah semua hilang semua telah dijual untuk operasiku. Akhirnya
aku terdampar dijurang pengetahuan dan ingin melesat, terjun kejurang
keingintahuan hingga ku memperoleh segalanya dengan usaha yang tak kalah penting.
Iya mengejar bukuku. Buku yang hidup, rin.
Waktu kembali berputar maju melesat
kembali kesaat ini, kejaman ini. Kesebuah bangku putih dengan buku kimia
disampingku. Buku tua yang selalu aku bawa kemana-mana, buku tua yang aku baca
berulang-ulang hingga penuh dengan luka. Tak apalah asal aku bisa mengenangnya.
Daun tetap gugur, rumput mulai layu, tapi cintaku tetap tumbuh subur di
duniaku, aku dan buku.
Yukk, diaktifin lagi bloggernya. Semangat nulis, gan. :)
BalasHapus