Sabtu, 19 Maret 2016

Aku dan Buku

Aku dan Buku


Di sebuah bangku kayu dengan warna putih bersih tanpa apapun. Angin semilir menghempas rambut putihku. Di kelilingi pepohonan yang rindang, dan hijau. Rumput-rumput yang ditumpuki dengan daun kering. Daun kering yang berserakan. Entah kapan dia ingin gugur. Waktu kenapa kau membatasi? Apa kau tak mengerti arti sebuah keterbatasan? Buku kau masih ingat dimana kita jalan pada sabtu malam? Sebuah buku coklat selalu menemaniku. Buku ini terlihat tua, penuh dengan tekukan-tekukan masalalu dan guratan-guratan kenangan. Aku dan kamu, hilang, buncah, entah harus bilang apa.
Tak ada suara indah yang kudengar? Bukan karena ku tuli. Pendengaranku masih sanggup mendengar suara manusia-manusia tak tahu diri. Suara indah beda dengan suara bagus, suara buruk beda dengan suara tak tahu diri. Manusia-manusia yang hanya menilai orang dari tampilannya saja. Saya rasa mereka tak mengerti arti ketidak mampuan dan keterbatasan. Iya saya paham, usia saya tak muda hanya 45 tahun. Bukankah itu masih terbilang muda? Suara-suara aneh juga sering terdengar. Gila kata mereka? Apa kau tak tahu seseorang yang memperoleh hadiah nobel dibidang kimia. Jika aku gila mungkin kalian lebih gila dari pada diriku ini. Kalian terlalu bodoh untuk menilai seseorang gila, tapi aku tak pernah menyangkal kegilaan yang sering kalian ucapkan. Ya... aku gila. Anda tidak pernah benar untuk kegilaan jiwaku, tapi untuk kegilaan hatiku, aku yakin kalian benar 99,9%.
Waktu sejenak berhenti. Berotasi sejenak. Menembus matahari, bulan, merkurius, dan kembali ke bumi. dan tetap berputar. Hitam, sejenak diam, sejenak melengkung, dan sejenak menembus cahaya, kembali kesebuah masa, masa dimana cinta mengambang dengan indahnya dan mengalir tiada hentinya. Cinta ya cinta... cukup satu kata cinta. Kata abstak yang tak pernah kutemui kejelasan maknanya
Rin wanita dengan guratan wajah yang unik, bentuk wajahnya bundar, bibirnya tipis, dan rambutnya panjang, hitam, tingginya kira-kira sebahuku, tangannya kasar, padahal dia baru berusia 18 tahun saat itu, dan hanya itu yang bisa ku sentuh. Rin tak beda jauh dari wanita sebayanya ucapannya, suaranya tegas, dia perempuan yang berani, entah dari mana keberaniaan itu datangnya. Bagiku rin adalah dewiku, malaikat, atau apalah julukannya.
Rin adalah teman kecilku, dia selalu mengantarkanku jalan-jalan setiap hari. Kau tahu jika waktu tak bisa dibayar dengan apapun? Dia memberikan hal yang tak bisa dibayar, lalu dengan apa aku membalasnya? Sabtu malam dia mengantarkanku ke taman bermain dia menjelaskan dengan baik, mirip seperti tourguide. Dia selalu seperti itu setiap mengajakku dan selalu dia genggam tanganku dengan erat. Taman bermain yang indah. Dia jelaskan lampu berwarna-warni dimana-mana, stan makanan di kanan dan kiri kami, gula-gula, gorengan, popcorn, dan katanya stannya dihiasi balon dan kain yang berwarna-warni pula. “Seperti apa gula-gula itu, rin?” Ucapku dengan penuh penasaran. Dia sebut warna merahmuda. Ku jawab tak tahu, yang kutahu hanya gelap, hitam. Dia bilang lembut, yang kutahu hanya wajahnya yang lembut. Ucapnya lagi rasanya manis, aku merasa ingin menggenggamnya. Otakku mulai berfikir, mulai berimajinasi. Apakah gula-gula lebih lembut dan lebih manis dari Rin. Singkat cerita rin, meletakkan benda yang aneh ditanganku, keras, kasar, dan warnanya. Tetap sama gelap. Dia bantu tanganku agar gula-gula ini melesat ke tenggorokanku. Manis dan lembut. “Apa semua yang manis dan lembut berwarna merah muda, atau yang memberi rasa adalah warna merah muda.” Ucapku dengan polosnya. Rin tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang lucu. Mungkin keluguanku atau ketidak tahuanku. Maklum selain warna hitam, guratan, suara, rasa, dan aroma. Tak ada lagi yang aku ketahui. Cuma rin yang tahu dan cuma tawa rin yang menemani ketidak tahuanku. Dia bilang gula-gula itu mirip dengan rin. Jika ingin tahu rin makan saja  gula-gula, kau akan ingat dengannya. Kau akan mengerti kelembutannya, rasa manisnya, dan aromanya yang khas. Rin membawaku berputar-putar. Aku dan rin yang merupakan tongakat hidupku selalu menuntunku ke daerah-daerah istimewa, daerah-daerah yang penuh imajinasi, imajinasi tingkat dewa yang penuh dengan warna gelap. Entah itu namanya segitiga, kotak, bulat, atau apalah yang kalian tahu dari dunia ini. Setiap sabtu malam rin selalu mengajakku ketaman ini dengan gula-gula yang selalu aku genggam dan pulang dengan membawa saput tangan rin. Kakek selalu memarahiku saat ku tiba di rumah. Aku masih ingat dia bilang aku merepotkan rin, aku sama seperti tanaman gulma. Begitulah istilah kakekku bilang, padahal aku tak tahu gulma itu seperti apa. Syukurlah mungkin tanaman yang manis dan lembut.
Waktu berlalu dengan cepat pemahamanku ku bertambah, berkat rin yang selalu disisiku. Dia ceritakan semua yang dia alami di sekolahnya, seakan dia menjadi mataku, seakan akau bisa merasakan apa yang dialami oleh rin, tapi sayang semua ada batasnya, begitulah dunia. Terbatas pada diriku, tapi tak apalah asal bisa mendengar suarannya itu sudah cukup bagiku. Tapi suatu ketika kudengar suara yang buruk sekali, kata rin itu manusia berwujud setan. Manusia itu memaki aku habis-habisnya, umpatan dengan segala jenis kebun binatang keluar, sebuah benda keras menabrak pipiku, perih, dan terasa sakit. Kudengar untuk pertama kalinya rin marah. Dia balas manusia itu tidak dengan umpatan tapi dengan kata-kata maaf yang merusak dadaku. Kata-kata penuh belas kasihan yang sepanjang abad belum pernah kudengar. Manusia itu masih meronta, entah setan apa yang merasukinya. Rin membawaku lari. Dia genggam tanganku. Dia bawa aku ke tempat yang jauh. Entah dimana pandanganku tetap sama gelap. Ku duduk disebuah tempat duduk yang, wah sangat empuk tak tahu kursi seperti apa ini. Kurasakan suhu udara disini juga dingin, entah dari mana ada angin yang bertiup. Dia seka bekas lupa dipipiku dengan sebuah kain basah. Selang beberapa menit kemudian terdengar suara manusia lain, yang ini tidak sekasar yang tadi, tapi sayang ucapannya tak lebih buruknya dari yang tadi. Hina ucapan penuh sampah melayang. Tersiksa derita dalam kegelapan tak mampu aku ungkapkan. Ku berlali meninggalkan suara itu, meninggalkan tongkat hidupku. Lelah dihina, lelah disiksa, ucapan tak pantas, mungkin bukan dari orang terpelajar.
Keesokannya aku tahu bahwa manusia kedua yang menyayat hatiku tak lain adalah ibu dari rin. Tak tahan membendung air mata ini, tapi lelaki pantang untuk menangis. Kucubit pahaku dengan sekeras-kerasnya hingga sakit tak terkira. Inilah caraku untuk melupakan sejenak lukaku yang lainnya. Tak lama kemudian rin izin pamit pulang, mungkin dia tahu aku akan menangis sejadi-jadinya sebentar lagi. Rin titipkan sebuah buku pada kakekku. Sebuah buku kimia, bukan buku bertuliskan huruf braille. Kutahu setelah kakek bicara dengan logat jawanya bahwa tak mungkin kay. Iya kay itu namaku. Tak bisa membaca yang begituan, bahkan berjalan saja harus dengan tongkat. Rin memaksa kakekku untuk menyimpan buku tersebut, entah karna apa. Bahkan takdirpun tak mungkin menolongku. Operasi mata butuh biaya yang besar, banyak segunung-gunung uang.
Setelah kepergian rin ku tak jumpa dia lagi, yang tertinggal hanya buku kimia hasil peninggalannya. Kakekku pergi untuk selamanya meninggalkan sepasang mata untukku. Membuat ku dapat melihat indahnya dunia, rumah semua hilang semua telah dijual untuk operasiku. Akhirnya aku terdampar dijurang pengetahuan dan ingin melesat, terjun kejurang keingintahuan hingga ku memperoleh segalanya dengan usaha yang tak kalah penting. Iya mengejar bukuku. Buku yang hidup, rin.

Waktu kembali berputar maju melesat kembali kesaat ini, kejaman ini. Kesebuah bangku putih dengan buku kimia disampingku. Buku tua yang selalu aku bawa kemana-mana, buku tua yang aku baca berulang-ulang hingga penuh dengan luka. Tak apalah asal aku bisa mengenangnya. Daun tetap gugur, rumput mulai layu, tapi cintaku tetap tumbuh subur di duniaku, aku dan buku.

1 komentar:

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com